Monday, November 30, 2009

Jamaah, Gus Dur, dan Andrea Hirata

0
Oleh Musyafak Timur Banua
Alhamdulillah, di kampung kelahiran saya punya banyak teman karib yang bervariasi. Gaya rambut yang disuka, bintang sepakbola yang digandrungi, atau motor-motor yang diimpikan di masa depan: semuanya berbeda. Hanya ada satu kesamaan: kami selalu sepakat untuk bantingan—bersama-sama mengeluarkan uang—untuk membeli sebungkus rokok. Atau bila uang dari bantingan belum cukup, warung juga melayani pembeli rokok separo bungkus.
\
Itulah warisan ketegangan-ketegangan ekonomi yang dipusakakan pada kami. Hingga kami bisa mesra dengan bantinga. Atau dalam wilayah yang lebih luas masyarakat kita bisa sambatan atau gugur gunung. Jika rokok yang bisa dibeli ternyata hanya satu batang, kami bersedia gantian mengisap satu-satu, kaum cendekia atau panggung hiburan pop menyebutnya share with, dalil ekonomi menyebutnya join.
Tapi saya sempat kuatir, jika jamaah-jamaah kebudayaan itu berlaku untuk hal-hal maksiat. Sebab, konon narkoba lebih enak rasanya kalau dihisap secara berjamaah, share with, atau join. Jangan heran pula jika korupsi pun dilakukan pejabat secara berjamaah. Lebih afdhal mungkin.
Salah siapa jika konsep berjamaah itu diterapkan di semua lini kehidupan, termasuk dalam hal-hal maksiat. Mungkin akan kita jumpai maling yang mengajak teman-teman lainnya mencuri karena ia takut maling sendirian. Inilah gunanya berjamaah.
Tentu maksud Kanjeng Nabi Muhammad SAW bukan seperti itu dalam menganjurkan shalat jamaah yang pahalanya patgulipat sampai 27 derajat. Maksud lain dari Kanjeng Muhammad SAW adalah mengajari kita bagaimana menimbulkan kesadaran kolektif paska kita shalat bersama. Makna lain adalah agar dimensi ukhuwah umat Islam lebih baik.
Coba saja jika dalam tradisi peribadatan kita tak ada anjuran shalat jamaah, maka masjid dan mushala mungkin akan tidak bermanfaat sama sekali. Yang paling mengenaskan adalah jika seorang kiai yang tak punya umat.
***
Baiklah kita kembali pada teman-teman karib saya yang bervariasi. Tapi saya hanya ingin menceritakan teman yang satu ini dulu. Yang lainnya, jika dikehendaki Allah di lain kesempatan.
Karib saya yang ini bernama Abdul Wahid, yang oleh teman-teman, bahkan oleh saya sendiri, sering dipanggil Gus Dur. Celakanya, karib saya ini suka dipanggil demikian.
Huss! Siapa gerangan anak ini sampai-sampai berani menjiplak nama Gus Dur. Dari keaslian namanya saja sudah jelas beda: Abdul Wahid Vs Abdurrahman Wahid. Pun, dari derajat intelektualitas, ia hanya sepucuk kuku Gus Dur yang Abdurrahman Wahid. Dirujuk dari nasab, karib saya pun bukan keturuna kiai, ulama, bahkan wali—ujung-ujungnya hanya akan berlindung di balik Adam AS yang merupakan generasi pertama jauh sebelum kita. Paling-paling buyutnya dulu hanya imam Mushola Baitul Ma’mur, itupun masih mungkin hanya sebagai wakil imam, jika imam utamanya sedang ada aral seperti sakit, atau masih dijebak pekerjaan sawah. Bahkan, dari ukuran-ukuran nyeleneh, nyelemong, atau “kegilaan” yang lain, karib saya ini tak berbakat. Gus Dur yang Abdul Wahid ini pun tak ada gelagat akan memiliki kharisma seperti yang mendarahdaging di perawakan Gus Dur yang Abdurrahman Wahid, yang hampir seluruh orang NU akan lelaku di bawah restunya.
Inilah corak bangsa kita yang latah. Yang suka memakai-makai nama orang, meski sedikitpun tak akan ketemu kalimatun sawa’-nya (benang merahnya) jika diidentifikasi. Ya. Termasuk saya juga suka ikut-ikutan memanggil Gus Dur atas si empunya nama Abdul Wahid.
Tapi tak apalah, sekali-kali kita membayangkan jadi orang sebesar Gus Dur. Kendati itu hanya dalam wilayah bualan. Untunglah, nama Gus Dur belum dipatenkan dengan hak cipta. Hingga semua orang tidak akan terjerat pasal-pasal hukum jika memakai nama itu. Dan mungkin besok, lusa, atau kelak, Kasduri tukang tambal ban itu juga akan ikut-ikutan memproklamirkan dirinya dengan nama Gus Dur lantaran ada suku kata dari namanya yang berbunyi –dur.
Kepada Gus Dur yang asli, maafkanlah teman karib saya yang telah lancang memakai nama Gus Dur. Juga kepada Kasduri jika kelak ia kepincut dengan nama Gus Dur hingga dipakai pula. Dan kepada pegawai Kecamatan yang duduk di bagian catatan sipil, bersiaplah anda akan didatangi oleh Kasduri yang akan dengan sah mengubah namanya menjadi “Kasduri Gus Dur”.
Orang-orang macam Gus Dur asli janganlah lantas berkecil hati jika namanya dicontek atau ditiru oleh masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Jangan pula lantas mematenkan nama itu ke Direktorat Jenderal Hak Paten agar nama itu ekslusif dan hanya menjadi milik anda. Sebab tak ada pun arti sebuah nama, tiadapun nama meninggikan derajat seseorang kecuali derajat kemanusiaan yang hakiki.
Sebaliknya, yakinlah bahwa dengan menggunakan nama Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, manusia Indonesia hidup dalam situasi pengharapan yang amat tulus untuk hidup dalam kesalehan, keunikan, dan kemaslahatan. Tapi, bagi masyarakat yang hidup dalam kultur Jawa sejatinya tak bisa menyepelekan nama. Nama, menurut keyakinan nenek moyang Jawa atau Melayu, kelak berhubungan dengan nasib. Jangan tanya berapa banyak orang Indonesia yang mengganti namanya dengan alasan agar terhindar dari sakit, terhindar dari nasib buruk, atau agar mudah meraih pangkat jabatan.
Untunglah Aqil Barraq Badruddin atau Ikal yang menokohkan dirinya sendiri dalam novel Laskar Pelangi, mengubah namanya menjadi Andrea Hirata. Mungkin Andrea sukses gara-gara namanya yang agak nyentrik ketimbang Aqil Barraq Badruddin yang dirasa abot sanggane. Mungkin juga, jika namanya tetap Aqil Barraq Badruddin, ia takkan setenar sekarang. Paling-paling ia hanya menjadi pengarang kelas ecek-ecek. Sekali lagi, mungkin, dengan nama Aqil Barraq Badruddin, justru Andrea Hirata akan lebih masyhur. Sebab makna nama itu bukan sembarang nama. Aqil Barraq Badruddin, secara leksikal berarti “anak berakal yang berkilauan (hingga menjadi) purnamanya agama”. Adapun secara generik bermakna lebih dalam: “anak soleh berjidat mengkilap yang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya (yang akan menjadi penerang agama).
Lho kok saya jadi sok tahu begini. Jadi berkelakuan ndukun seperti ini? Kepada Andrea Hirata, maaf itu hanya sekelumit pendapat saya mengenai namamu yang saat ini masyhur. Takdir hanya milik Allah. Jadi jika suatu saat anda bertemu paranormal atau dukun yang berkata mirip seperti saya, jangan percaya seratus persen. Percayailah kata hatimu, seperti dulu kamu melakukan perubahan revolusioner dari Aqil Barraq Badruddin menjadi Andrea Hirata.
Soal nama Gus Dur, semakin banyak orang menggunakan kata itu. Artinya semakin banyak pengharapan bangsa kita, yang menurut kita sendiri, sedang sakit kronis untuk sembuh. Dengan mencontek, meniru, bahkan mencuri nama Gus Dur, sejatinya manusia Indonesia berpengharapan adanya sosok yang sangat progresif, cerdas, sekaligus nyeleneh seperti Abdurrahman Wahid. Sekaligus menegaskan bahwa manusia Indonesia menghendaki adanya Gus Dur dalam setiap generasi, kelak.
Seandainya ada ribuan atau bahkan jutaan manusia Indonesia memakai nama Gus Dur, adalah potensi besar bagi Indonesia yang Negara Kesatuan Republik ini untuk maju, kaya, pintar, unik, kharismatik, dan seterusnya. Sejuta Gus Dur adalah kekayaan yang tak ternilai dibandingkan dengan ladang minyak atau ladang apapun yang secara sengaja dan ngawur kita “hibahkan” untuk kepentingan orang lain.
Kekayaan Indonesia dengan jutaan Gus Dur tak akan dieksploitasi ataupun direbut oleh perusahaan asing. Sebab orang asing, dengan keyakinan dan nasionalisme akan lebih memilih nama Clinton atau Bush. Jika pun mereka mau mengganti, paling-paling cukup hanya dengan memodifikasi menjadi ” Gus Clinton” atau “Gus Bush”.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment