Wednesday, January 13, 2010

Pengintip Larut Malam

0
Cerpen Musyafak Timur Banua
(Soeket Teki Edisi IV 2010)

Mata Sarimin masih membelalak. Menembuskan pandangannya ke sebuah kamar lewat lobang sebesar cincin di dinding papan kayu sengon rumah Suwarti. Amboi! Paha mulus tampak langsat karena tertimpa sinar lampu kamar yang kemuning. Sarimin menelan ludah. Tak dirasainya puluhan nyamuk mengisap kakinya yang telanjang. Malam ini Sarimin mengenakan celana komprang selutut. Praktis kakinya yang tak tertutup kain mudah saja menjadi santapan nyamuk yang subur berkembang di musim hujan.

Air sisa hujan masih sesekali menitik dari atap genteng. Punggung Sarimin terasa agak dingin dijatuhi titik-titik air itu. Namun ia tetap asyik menamati pemandangan lewat lobang kecil di teras samping kiri rumah yang lebarnya hanya sejengkal kaki itu. Suwarti, perempuan yang ditinggal suaminya merantau itu tengah lelap hanya berbalut jarik dan kutang yang membungkus dadanya. Nafas Sarimin kian mendengus kencang ketika tiba-tiba Suwarti bergelinjang dan membuat jariknya makin tersingkap ke atas. Mata Sarimin merebak nyalang.

Puas mengintip Suwarti, Sarimin segera enyah. Mencari mangsa lain untuk memuaskan hasratnya. Sasaran Sarimin biasanya janda atau perempuan yang ditinggal suaminya pergi merantau. Itu tidak terlalu berisiko, pikirnya. Ketimbang mengintip pasa-ngan yang sedang beradu mesra.

Ah, dasar Sarimin!

Malam masih agak rendah. Bebe-rapa bintang mulai muncul sejak hujan reda. Angin berembus, me-ngibarkan dedaun pisang. Lalu sekejap-sekejap timbul suara gerimis di sekitarnya. Sarimin tenang berjalan, mendekap tubuhnya dengan kedua tangan. Kakinya membelah rerumputan dan sesemak perdu.

Langkah Sarimin berhenti di sebuah rumah paling ujung di sudut tenggara kampung yang senyap itu. Ia kembali mendekatkan matanya di sebuah lobang, yang kali ini, agak besar. Makin hari lobang itu kian besar. Sarimin mudah saja merenggangkan lobang di sela-sela anyaman gedhek1 rumah itu.

Lelaki berbaju gelap muncul dari balik rumpun bambu. Nyanyian kodok menenggelamkan suara kakinya yang melerap pelan menyapu dedaunan basah yang berserakan. Lelaki itu menghentikan langkahnya ketika melihat sesosok tubuh menempel di dinding sebuah rumah. Ya, Sarimin masih mengintip perempuan yang tidur melentang di ranjang.

“Bangsat! Siapa orang yang sudah beraksi mendahuluiku,” desis lelaki itu menahan suara.

Lelaki itu menamati tingkah Sarimin yang ternyata tidak bereaksi macam-macam seperti wasangkanya. Justru lelaki itu penasaran pada Sa-rimin. Lalu tubuhnya diselinapkan di antara jajaran pohon pisang. Sementara Sarimin tak tahu dirinya sedang diintai seseorang. Merasa hasratnya sudah cukup terpenuhi, Sarimin melenggang pergi.

Lelaki yang kemudian memakai sarung kepala itu bergegas melangkah setelah bayangan Sarimin hilang tertelan gelap. Lelaki itu berjalan hati-hati, menyusur gang sempit di antara jeda rumah-rumah. Meninggalkan jejak-jejak kaki di gelaran tanah gembur setengah berlumpur.

Lelaki itu menusuk di tengah-te-ngah kampung yang sudah mati itu. Sepi. Sebuah keadaan yang amat disukainya dalam perburuan mencari rejeki.

***

Sarimin merebahkan tubuhnya yang dingin di dipan. Matanya belum terbujuk kantuk. Pikirannya masih menerawang pada perempuan-perempuan yang selesai diintipnya. Ludahnya berasa kian cair di rongga mulut. Kerongkongannya berkali-kali menelan ludah yang meleleh itu.

Tiba-tiba bayangan Marwah, istrinya, muncul di layar ingatan lelaki paruh baya itu. Terlintas Marwah sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias. Rambutnya yang hitam pekat terjun ke pundak sebelah kiri hingga menjumbai di dada. Tengkuknya yang jernih dapat ditamati mata tanpa terhalang apa-apa. Sejurus kemudian Sarimin membayangkan dirinya mencumbu Marwah.

Ketika berahi Sarimin memuncak di tengah ilusi kesemuan, mendadak dirinya tersentak oleh kenyataan. Kesadarannya timbul betul-betul, bahwa Marwah telah hampir sembilan purnama pergi meninggalkannya. Bersama anak perempuannya yang baru ber-umur dua tahun.

Perlahan gejolak kelelakian Sarimin mereda. Surut. Beralih pada ratapan cengeng seorang lelaki. Lalu pikirannya bangkit merutuki diri.

“Salahku juga jadi lelaki tidak sungguh-sunggh memedulikan anak istri,” bisik hatinya pada diri sendiri.

Alasan Marwah pulang ke rumah orangtuanya yang bersebelahan desa tidak bisa dibilang sepele. Perempuan itu tidak tahan melihat kelakuan Sarimin sering pulang malam, meski bukan untuk main serong di belakang, melainkan berjudi dan menenggak minum keras.

Kegemaran Sarimin mabuk dan berjudi membuatnya mengesampingkan nafkah keluarga. Bahkan Marwah terpaksa membuka warung pecel kecil-kecilan demi menambah uang belanja. Tapi, dasar Sarimin! Hasil istrinya menjual pecel dan jajanan macam gorengan tak jarang dirampas juga untuk keperluan rokok. Tidak hanya sekali dua kali, itu sering terjadi ketika Sarimin pulang dari mencari barang-barang rongsokan dengan ta-ngan hampa.

Sebenarnya Sarimin lelaki yang tekun bekerja. Tapi hasil keringatnya itu lebih dipentingkan untuk menuruti kesenangan. Main keplek2, beli lotere, pasang nomor togel, dan taruhan lain-lain. Kendati sering kalah dan uangnya terkuras, Sarimin tetap tidak bisa meningalkan kebiasaan judi.
“Ah, aku tak terima punya suami penjudi, pemabuk pula! Ingat, Kang, anakmu sudah menjelang besar,” kata Marwah suatu waktu.

Tingkah Sarimin yang tak berubah lama-lama membuat Marwah kerap ngomel dan marah-marah. Pada puncaknya, suami istri itu terlampau se-ring cekcok dan adu mulut. Pertengkaran terakhir kali saat Sarimin pulang larut. Kalah judi serta mabuk berat membuatnya kalaf. Istrinya ditampar dan dipukul berkali-kali hingga wajahnya memar kebiruan.

Malam itu juga Marwah mengemasi pakaiannya. Ia keluar rumah menembus kabut putih tipis yang juga melayapi ujung-ujung pepohonan. Mengisak lirih sepanjang jalan. Anak perempuan yang digendongnya terbangun lantaran keningnya tertimpa setetes airmata Marwah yang masih hangat.

Bintang kejora memancar terang di sisi timur langit. Namun mendung pekat melingkupi perasaan Marwah.
***
Malam berikutnya. Sarimin agak gusar. Hujan tak kunjung reda. Geri-mis masih rapat berjatuhan setelah hujan deras dipenuhi ledakan-ledakan guntur. Sarimin nekat keluar rumah. Menghambur ke sela-sela rumah demi hasrat mengintipnya terpenuhi. Ya, semenjak Marwah meninggalkannya, Sarimin punya kebiasaan mengintip orang. Sepuntung rokok disulutnya, lalu mulut dan hidungnya mengepulkan asap.

Suwarti menjadi target pertama. Kembali ia mendekatkan matanya pada lobang sebesar cincin, seperti yang dilakukannya malam kemarin. Kilatan cahaya sebentuk rambut bercabang-cabang di langit tak membuat nyali-nya ciut. Ah, petir sudah tidak mendentum lagi!
Malam kian meninggi. Larut menuju gelap dan sepi yang kian matang. Hujan dan gerimis sedari petang tadi menyirap orang seisi kampung dalam lelap. Langit gelap berselimut mendung pekat. Namun kilat masih sering melesat beterbangan di angkasa, membuat bumi terang sekejap-sekejap.

Seorang lelaki bersarung kepala amat hati-hati mencungkil jendela. Bodoh sekali si empunya rumah, pikirnya. Dengan mudahnya ia dapat menembus rumah lewat jendela itu.

Berjalan mengendap-endap, lelaki itu menyelinap ke sebuah kamar. Bunyi dengkuran serak dan berat dari kamar sebelah menelusur ke genderang telinganya. Aman, batinnya. Si empunya rumah kedengarannya amat pulas. Matanya berpinar-pinar melihat barang-barang berharga seperti kalung, cincin, dan gelang yang semuanya terbuat dari emas. Lalu ia membuka jendela kamar, menyiapkannya untuk melesat kabur jika kemungkinan buruk terjadi.

“Ceroboh benar pemilik rumah ini. Perhiasan ditaruh sembarangan,” gumamnya membisik pada diri sendiri, sembari bibirnya tersungging-sungging penuh kemenangan.

Dengan cekatan dipindahkannya barang-barang berharga itu di saku celananya. Sejurus kemudian ia membredel kunci lemari. Segeranya pintu lemari terbuka, tangannya agak gegabah mengulang-alik pakaian. Mencari benda-benda berharga lain atau uang yang bisa dibawanya.

Tiba-tiba tangis bayi memecah sunyi. Dada lelaki itu bergolak. Lelaki itu paling benci pada bayi, lebih-lebih bayi menangis. Karena itu amat mengganggu pekerjaannya. Tak disadarinya seorang perempuan yang menggendong bayi terburu-buru melangkah ke sebuah kamar.

“Maling…”

Suara itu melengking dari mulut perempuan tadi. Secepat kilat lelaki itu terbang menembus jendela. Ka-kinya terpeleset lantaran mendarat di tumpuan tanah yang becek.

“Maling… maling… maling…” suara itu terdengar kian gaduh. Lalu bersahutan suara serupa. Lelaki itu lari pontang-panting. Lompatan kakinya tidak begitu leluasa lantaran medan yang dilintasinya becek dan licin.

Kampung yang awalnya sunyi kini dipenuhi suara ribut-ribut yang mengancam. Ia sedapat-dapatnya lari kencang. Namun semak belukar membuatnya berkali-kali hendak terpeleset.

Toh, suara ribut-ribut itu terasa kian membuntutinya. Teriakan-teriakan bercampur dedecak langkah makin dekat memburu telinganya. Lantas lelaki itu menyerongkan arah larinya menuju arah tenggara dusun.

“Dia membelok. Kejar… Jangan sampai lepas!”

Suara itu amat mengerdilkan dadanya. Sementara lompatan kakinya terasa memendek dan berat.

Sarimin tidak tahu seorang lelaki telah melesat tak jauh dari tempatnya mengintip lewat dinding belakang rumah di ujung dusun itu. Pun ia tak tahu seorang lelaki yang dikejar-kejar banyak orang baru saja melompat ke rerumpun bambu.

Makin keras Sarimin mendengar teriakan orang-orang yang sedang mengejar maling. Mendadak Sarimin merasa ketakutan dirinyalah yang dikira maling. Sarimin buru-buru melempar puntung rokok, lalu melesat lari. Orang-orang yang larinya makin cepat sempat menangkap bayangan tubuh Sarimin yang terbirit-birit se-perti dikejar kawanan anjing.

Orang-orang menyebar ke segala penjuru yang memungkinkan bisa mengadang bayangan itu. Sementara maling tadi berdiam sejenak di balik rerumpun bambu, mencoba menenangkan nafasnya yang terengah-engah.

“Buk… buk… buk…”

“Hajar! Hajar!”

Teriakan-teriakan yang memekikkan kemarahan itu membuat si maling menahan niatnya untuk tidak cepat-cepat pergi. Entah, keberanian macam apa yang masih terselip di pikirannya hingga maling itu malah mendekat sumber kegaduhan yang berjarak seratus kaki dari tempatnya. Penasaran!

Maling itu mengintai dari balik jajaran pohon mindik. Hidungnya mengendus bau sengak dari getah-getah busuk yang berleleran di kulit pokok mindik. Matanya, meski agak samar, tapi masih mampu menangkap citra orang-orang yang melingkar berebut main injak dan jotos.

“Pukul terus… Jangan kasih ampun! Biar mampus sekalian!”

Maling itu nyinyir mendengarnya. Sejenak tubuhnya menggigil. Miris membayangkan betapa sakitnya dihajar puluhan orang. Kerumunan kian membesar. Orang-orang makin banyak berdatangan.

“Oh, kamu, Min? Tengik benar kamu, tetangga sendiri kamu maling!” hardik seorang lelaki berkaus kuning terang yang baru saja bergabung.

“Dasar, Sarimin bajingan!” sembur lelaki yang lain lagi, “Kamu pula yang kemarin malam membobol lemari petiku?”

“Tidak! Tidak! Aku tidak…” pembelaan Sarimin terhenti seketika sebuah balok kayu padat menghantam tengkuknya.

“Mana ada maling ngaku.. Hajar saja! Hajar!”

Kembali tumbukan-tumbukan keras mengarah ke awak Sarimin. Darah segar meleleh dari pelipisnya, berkilat-kilat tersorot lampu senter. Lalu lengkingan-lengkingan mengaduh dan merintih Sarimin timbul-tenggelam dalam teriakan orang-orang yang lebih keras dan beringas.

Tak lama kemudian Sarimin diseret pergi. Maling yang masih mengintai itu nyinyir melihat tubuh Sarimin lunglai tak berdaya diarak ramai-ramai.

Maling itu berjalan meninggalkan kampung. Keringat dingin membasahi kulit dan lembaran pakaiannya. Badannya bergidik. Ngeri membayangkan seumpama dirinya yang tertangkap malam ini.

“Alhamdulillah! Puji Tuhan, Engkau masih menyelamatkan hambaMu yang mencari rejeki ini,” bisiknya.

Semarang, 17 Agustus 09
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment