Oleh Musyafak Timur Banua
(Jurnal Nasional, 07 Maret 2011)
KRISIS pangan menjadi “hantu” bagi masa depan bangsa Indonesia. Ancaman paradoksal di bumi pertiwi yang masyhur dengan julukan gemah ripah loh jinawe. Pepatah “tikus mati di lumbung padi” tampaknya menjadi peribahasa yang menujumkan kenyataan tragis. Ironi bangsa petani yang terancam hidup kelaparan.
Perubahan iklim disertai ragam gejala krisis ekologi memengaruhi kemerosotan produktivitas pangan dalam negeri. Kondisi ini selalu saja memaksa seluruh lapisan masyarakat memusatkan perhatian pada kebijakan pangan yang diambil pemerintah untuk menyelamatkan kebutuhan fisiologis rakyatnya. Pelbagai perdebatan yang muncul di tengah tidak memadainya pangan nyaris selalu berpautan dengan wacana impor pangan yang rentan sekali menuai penolakan dari masyarakat.
Di tengah perbincangan rutin itu, etika makan luput diperkarakan dalam ranah pangan di Indonesia. Keluputan yang barangkali dianggap sepele dan tidak penting. Seolah-olah etika makan menjadi fakta terpisah dari persoalan pangan.
Etika makan yang hendak diperkarakan di sini bukanlah tata cara makan populer masa kini yang dikenal sebagai table manner yang lebih adaptif terhadap tradisi Barat. Manusia modern lebih mementingkan tingkah laku yang dianggap etis atau nonetis ketika berada di meja makan di mana etika tersebut menyasar pada “nilai tanda”: kepantasan-kemewahan. Sementara etika makan yang ditekankan di sini merujuk pada nilai-nilai substansial: bagaimana mestinya manusia memandang serta memperlakukan makanan.
Orang Jawa mengajarkan anak-cucunya memperlakukan makanan dengan bijak dan hati-hati. Leluhur Jawa pantang menyia-siakan makanan. Saat acara bersantap selesai, ajang (piring, dan sebagainya) orang Jawa akan senantiasa bersih dan sedapat-dapatnya tidak menyisakan butir nasi. Reaksi arif para orang tua pun hadir dalam bentuk sanepa (ungkapan) ketika anak-anak enggan menghabiskan makan: “awas pitike mati yen segane ora entek (awas ayam akan mati jika kau tidak menghabiskan nasinya).”
Sanepa itu bukan sekadar kelakar atau menakuti-takuti, tetapi mengandung nilai-nilai luhur yang kaya makna terkait adab orang Jawa memperlakukan makanan. Kata “ayam” di dalam sanepa itu merupakan “bahasa lapis kedua” yang merujuk pada raja brana (harta kekayaan). Raja brana adalah kekayaan atau kelimpahan rezeki, salah satunya berbentuk hewan ternak sebagai penghasilan utama maupun sampingan, seperti: sapi, kerbau, kambing, ataupun ayam--dahulu hampir setiap keluarga Jawa memiliki ternak, paling lumrah dan mudah dipiara adalah ayam. Karenanya, orang Jawa yakin, kesalahan memperlakukan makanan akan meniscayakan kebangkrutan raja brana yang dimilikinya.
Meremehkan
Tampaknya ajaran awas pitike mati yen segane ora entek itu mulai diabaikan oleh generasi terkini. Orang dengan mudah menyisakan nasi saat acara makan berlangsung. Perkembangan masyarakat berikut keadabannya yang makin asing dengan dunia pertanian menjadi salah satu sebab pergeseran cara pandang terhadap makanan.
Ketidakterlibatan sebagian orang terhadap kerja-kerja pertanian membuat mereka memandang pangan sebagai berkah yang terberi yang mudah didapat hanya dengan tebusan uang. Padahal, kerja-kerja pertanian digarap oleh para petani secara bersusah-payah di tengah berbagai ancaman alam.
Minimnya pengetahuan sekaligus kesadaran tentang susahnya kerja pertanian membuat orang kurang menghargai makanan. Kiranya, masyarakat yang terlibat langsung dalam mengolah pangan akan lebih menghargai makanan. Kebiasaan makan di warung atau restoran juga mengikis tanggung jawab pada makanan. Orang-orang yang makan sendiri di rumah niscaya lebih arif karena tidak mudah menyisakan makanan begitu saja yang sudah dimasak dengan susah-payah.
Bayangkan, andai tiap sekali makan kita menyisakan paling sedikit 20 butir nasi di piring, berapa juta butir nasi yang disia-siakan oleh warga Indonesia? Jumlahnya akan cukup membuat kita tercengang jika diakumulasikan dengan angka 200-an juta penduduk Indonesia yang aktif memakan nasi. Sebab, nasi (beras) merupakan makanan pokok di Indonesia. Bahkan ada pepatah Jawa yang mengatakan ora diarani mangan yen durung mangan sega: tidak disebut makan jika belum memakan nasi.
Budaya pesta yang makin hari menggejala di masyarakat Indonesia juga kerap menyisakan makanan. Perayaan makan dalam lingkup luas dan masif itu acap menyuguhkan berlimpah-limpah makanan demi memamerkan kemewahan yang telanjur dianggap sebagai kepantasan. Sering kita jumpai menu makanan di sebuah pesta melebihi kapasitas perut orang-orang yang menyemarakkan perayaan makan itu. Salah-salah, orang memaksa perutnya menampung makanan dalam jumlah berlebihan demi menuruti selera sekaligus godaan makan dalam pesta.
Kesadaran Etis
V Irmayanti Meliono dan Budianto (Makara, Sosial Humaniora, Vol 8 No 2, Agustus 2004) menyatakan, pola makan seseorang dibentuk oleh latar belakang budayanya dengan berbagai perubahan sosial budaya yang terjadi. Antara lain, gaya hidup dan masuknya ideologi. Dimensi etis dalam budaya makan yang sudah tersusupi peran-peran teknologi (modernisasi) juga berdampak pada budaya konsumtif makanan.
Adat konsumtif makanan dalam jumlah berlebihan menjadi “modal awal” bagi kebangkrutan pangan di tengah produktivitas pertanian yang cenderung merosot. Karenanya, budaya makan masyarakat perlu ditinjau ulang. Perayaan makan seperti pesta mesti mengedepankan prinsip fungsi dan efisiensi makanan daripada mengejar nilai tanda (kepantasan dengan laku bermewah-mewah). Bahkan, hari-hari besar agama seperti hari raya juga kerap diwarnai dengan penyajian makanan berlimpah ruah tanpa disadari turut menjerumuskan perayaan pada pola hidup hedonis.
Mesti diinsyafi, rumah (tata cara makan) dan sawah (kondisi pangan) merupakan dua entitas yang saling berpihak. Revianto Budi Susanto (Omah, Menelusuri Kearifan Rumah Jawa, 2000) memandang Dewi Sri sebagai figur penjaga keseimbangan antara sawah dan rumah‘”tidak sekadar figur penguasa kesuburan alam. Nilai praktisnya adalah perilaku makan masyarakat sangat memengaruhi kerja pertanian dalam upayanya memasok pangan. Kesadaran masyarakat terhadap dimensi etis dan budaya makan yang lebih arif cukup meringankan beban kerja para petani dan pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan.
Musyafak Timur Banua, aktivis di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
wahaha... aku kesindirrrrr!!!!!!!1
ReplyDeletengene iki, ngelamun wong mangan eh eh jebul2 iso go sangu mangan sesasi. nak ngene iki aku ameh tobat wae, gen dang berisi. wkw
ReplyDelete