Sunday, March 20, 2011

Ketersisihan Sawah dan Identitas Jawa

4
Oleh MUSYAFAK TIMUR BANUA
(Suara Merdeka 20 Maret 2011)

Sawah memiliki peranan penting dalam mengolah watak manusia Jawa. Sawah tidak sekadar areal pertanian atau pencaharian, tetapi sekaligus menjadi medan pembentukan identitas manusianya. Sawah seolah panggung yang mementaskan pelbagai kebudayaan sekaligus kearifan Jawa. Dari sawah dapat dilacak pandangan hidup, rasa dan laku, serta spiritualitas dan mistik manusia Jawa.

Sawah merupakan seting sosial kedua setelah kampung bermukim masyarakat Jawa. Masyarakat sawah adalah corak masyarakat produktif yang sarat kerja. Pekerjaan sawah tergolong berat sehingga tidak cukup menjadi tanggungan pribadi pemiliknya, meski sang pemilik punya otoritas atas lahannya. Sebaliknya, pekerjaan sawah melibatkan tenaga banyak orang.

Kerja pertanian tidak terbatas pada ikhtiar alamiah untuk memproduksi pangan, tetapi juga meniscayakan terjadinya kontak fisik dan psikis para penggarapnya. Sawah dengan sendirinya memolakan sebuah relasi “masyarakat kecil” para pemilik dan pekerja (buruh tani). Relasi orang-orang di dalamnya mengisbatkan struktur paguyuban yang khas dan turut memperkuat hubungan mereka di seting sosial pertama, yakni tempat bermukim yang lebih luas dan kompleks.

Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia (2002), memandang sawah sebagai organisasi kerja berskala besar. Organisasi kerja ini mementingkan laku produktif dalam bingkai komunalitas, kolektif, dan saling bergantungan satu sama lain. Organisasi kerja di sawah merupakan prototipe masyarakat berkesadaran lokalitas dan solidaritas yang kuat. Solidaritas itu mencakup berbagai etika kerajinan, profesi, dan kerja sama yang menjadi landasan moral dalam memaknai hierarki ruang serta hubungan sosialnya.

Laku hidup masyarakat petani berbeda dengan masyarakat peramu, pemburu, atau nelayan yang cenderung berwatak konsumtif karena memandang kerja sebagai ajang “mengunduh” anugerah alam. Tetapi corak masyarakatnya egaliter karena masing-masing individu tidak diikat oleh relasi kuasa atas-bawah seperti halnya relasi pemilik dan buruh di sawah. Pedalaman diri (psikologi) masyarakat sawah cenderung serius karena tuntutan target produksi. Sementara masyarakat peramu atau pemburu condong humoristik karena keterbatasan diri dalam mengunduh hasil alam yang terberi, melahirkan sifat cenderung manja.

Begitu, sawah menjadi genesis infrasutruktur penghidupan yang menentukan pandangan primordial masyarakat petani dalam memaknai ruang sosialnya. Tentunya, pandangan primordial di nusantara begitu plural bergantung pada genius lokal masing-masing di suatu masyarakat.
Harmonitas
Sawah juga membentuk world view (pandangan dunia) manusia Jawa. Aktivitas cocok tanam melahirkan persepsi yang melimpah tentang alam. Menuntun masyarakat petani pada kesadaran ekologis yang memandang dunia digerakkan oleh prinsip-prinsip harmonitas. Kesadaran ekologis tersebut lantas mengarung pada kesadaran kosmologis. Memahamkan diri pada tata kosmos sehingga mampu memosisikan peran secara tepat di dalam relasi-relasi kosmos.

Paul Stange (1998) menengarai prinsip harmonitas menjadi penekanan dalam pandangan hidup masyarakat petani di Jawa pada umumnya. Keselarasan, kedamaian, keseimbangan, dan konsensus telah menggairahkan kesadaran manusia Jawa secara terus-menerus. Justus van der Kroef menyebutnya statis-seeking mechanism (mekanisme pencari statis) yang merupakan obsesi manusia terhadap keseimbangan.

Kesadaran kosmologis mengantarkan manusia Jawa pada kesadaran religius. Tata kosmos yang harmonis ini diciptakan dan diatur oleh kekuasaan adikodrati, Sang Pencipta, sebagai causa prima. Keyakinan ini melahirkan berbagai ritual mistik. Misalnya, sedekah bumi, resik deso (bersih desa), nyiwer (mengelilingi sawah seraya bermantra), slametan (upacara doa bersama) dan sebagainya. Perayaan mistik itu bertujuan demi mempertahankan harmonitas relasi antara manusia, alam, dan Pencipta.

Mistik masyarakat sawah dapat pula ditemukan dalam mitologi Dewi Sri atau Dewi Padi. Figur Sri dihayati sebagai penguasa kesuburan yang perannya sentral dalam kerja cocok tanam masyarakat Jawa.

Tetapi Sri tidak sekadar sosok figuratif yang mengendalikan kesuburan. Sri dianggap figur yang menyatukan alam dan budaya yang melindungi padi dan rumah (Revianto Budi Santosa, 2000). Sawah dan rumah merupakan dua instalasi kebudayaan yang tidak dapat diceraikan. Disharmonitas alam sawah akan menggoyahkan harmonitas rumah tangga yang berhajat pada pangan, begitu juga sebaliknya.

Keterpinggiran
Negara kini luput membincangkan sawah dalam acuan arkeologis-filologis yang menyasar pada identitas kebangsaan. Negara lebih memusatkan perbincangan pada wacana swasembada pangan yang sebenarnya hanyalah “template politik” pemerintah dalam mengatur pangan.

Bangkrutnya perbincangan tentang sawah berbanding lurus dengan menyempitnya ekstensi sawah di tengah perayaan pembangunan. Industrialisasi begitu gegap-gempita melibatkan kapital berskala global. Kini sawah seolah terpinggirkan dan tidak diijinkan berkembang, tergusur oleh perkembangbiakan gedung-gedung yang menjadi proyek instalasi industri. Gelagat ini dapat ditilik pula dalam ancangan kebijakan negara yang lebih memacu pertumbuhan ekonomi industri riil ketimbang memihak pertanian. Padahal bangsa-negeri ini tumbuh berkembang di dalam jalinan genetika agraria.

Ketersisihan sawah menjadi penanda keterpinggiran identitas Jawa. Identitas Jawa tersisih dari cerapan kebudayaan yang digerakkan oleh modal secara besar-besaran. Kapital asing menyusupi sendi-sendi negeri ini bukan hanya dalam bentuk investasi ekonomi, tetapi juga investasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Geliat modal asing yang ditandai Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 turut membukakan pintu selebar-lebarnya bagi masuknya budaya Barat yang tampaknya kini lebih mendominasi keadaban masyarakat.

Proyek industrialisasi semakin sukses menggusur sawah, seolah persis penggusuran identitas manusia Jawa sepetak demi sepetak. Dan, tragis itu tinggal menunggu waktu.

Musyafak Timur Banua, pegiat Komunitas Sastra Soeket Teki dan Openmind Community Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

4 comments:

  1. hayoo... maen ke Jelak banyak sawah....

    ReplyDelete
  2. Betul..
    bagi masyarakat jawa, sawah ga cuma ladang mata pencaharian.. tapi juga tempat bersosialisasi masyarakat jawa..
    mbah itu, kalo pergi ke sawah kaya pergi ke kantor..
    berangkat pagi pulang sore.. ya ngarit, angon sapi, ngobrol sama orang2 kampung..

    ReplyDelete
  3. hay,

    naskah-naskah kumpulan cerita anak sudah saya kirimkan ke penerbit Leutika via email dan menanti jawaban dari mereka sebulan kemudian dari kemarin. Doakan yah agar mereka mau menerbitkannya hingga benar-benar bisa sampai ke toko buku

    terima kasih sebelumnya

    Tuhan berkati

    ReplyDelete
  4. aina: ayo...

    Geafry Necolsen: sawah itu tempat guyub rukun ya??

    Noeel-Loebis: bravo!!!

    ReplyDelete