Wednesday, June 01, 2011

Kebijakan Rokok Muka Dua

1
(Suara Merdeka, 29 Mei 2011)

Judul                    : Hukum dan Ancaman Keberlangsungan Industri Rokok
Penyunting          : Zamhuri
Penerbit              : Prodi Magister Ilmu Hukum UMK dan LS2B Sumur Tolak Kudus
Cetakan               : I, Februari 2011
ISBN                     : 978-602-98091-0-7
Tebal                   : xi + 145 hlm

Rokok di Nusantara mengalami perkembangan sekaligus evolusi panjang. Menyentuh batas-batas sosial, ekonomi, tradisi, budaya, bahkan agama. Jika ditelisik secara struktural, semua ranah kemasyarakatan tersebut membangun suatu pola kombinasi kepentingan yang saling bergantungan.

Namun hukum di republik ini masih memperkarakan rokok dengan tidak mencakup segala ranah itu, masih parsial. Buku ini mewakili sebagian ketegangan perbincangan terkait rokok. Telisik wacana politik-hukum rokok yang dianggap mengancam keberlangsungan industri rokok. Gagasan diskursif buku ini muncul dari berbagai narasumber yang mewakili beberapa elemen. Soewarno M Serad (Direktur Public Affairs PT Djarum),  Tulus Abadi (Anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Nusron Wahid (Anggota Komisi XI DPR RI), Rommy Fibri (Jurnalis Senior), N Wisnu Brata (Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Jateng), dan Hasyim Asy’ari (Pakar Hukum Undip Semarang).

Ambivalen
Kalangan antirokok maupun yang mengklaim peduli terhadap kesehatan masyarakat senantiasa memproduksi informasi tentang bahaya rokok bagi kesehatan, juga mengesankan laku merokok secara patologis sebagai penyakit sosial kaum miskin yang mesti dihentikan. Sementara para pelaku industri rokok, atau kalangan yang mengklaim membela kepentingan buruh dan petani tembakau menandinginya dengan dalil perekonomian rakyat. Taruhlah pada tahun 2010 rokok menyumbang cukai sebesar Rp.57 triliun.

Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, pemerintah ditengarai belum mengambil kebijakan (policy) yang bisa menciptakan kebajikan (wisdom) bagi semua pihak. Karena regulasi yang ada belum mampu mengintegrasikan kepentingan negara dan antarkelompok masyarakat.

Melalui Undang-undang Kesehatan, pemerintah tampak sangat membatasi pergerakan industri rokok. Pasal 113 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Kesehatan memasukkan rokok sebagai zat adiktif, dan Pasal 115 menetapkan pembatasan area merokok dan iklan rokok. Di sisi lain, industri rokok dimasukkan sebagai salah satu kategori dari 10 industri prioritas negara, plus target penerimaan cukai rokok setiap tahunnya terus dinaikkan. Karenanya produk hukum terkait rokok disebut sebagai kebijakan bermuka dua.

Perspektif Pengendalian
Perspektif tobacco control (pengendalian tembakau) juga menjadi perdebatan panas dalam upayanya melacak motif-motif politis di baliknya. Tulus Abadi memberikan tinjauan kritis atas gelagat sesat pikir sebagian kalangan tentang pengendalian tembakau. Pengendalian tembakau bukanlah berpamrih untuk mematikan industri atau petani rokok. Tetapi politik pengendalian tembakau bertujuan melindungi masyarakat dari kerusakan akibat konsumsi dan paparan asap tembakau. Karenanya peredaran rokok perlu dibatasi dan dikontrol secara ketat.

Dalam hal ini terjadi ambivalensi fungsi cukai. Pada dasarnya cukai adalah sin tax (pajak dosa) yang dikenakan terhadap produk-produk yang bisa menimbulkan dampak ekstralitas atau candu. Tetapi, faktanya cukai justru dimanfaatkan negara sebagai pintu pendapatan yang menggairahkan. Cukai bukan lagi berfungsi mengendalikan peredaran produk-produk yang memang pemakaiannya musti dibatasi.

Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) dan RPP Tembakau juga menjadi polemik. Pada dasarnya semua pihak menginginkan regulasi rokok yang komprehensif yang mengakomodasi segala kepentingan masyarakat. Pemerintah mesti tegas dalam menentukan regulasi tembakau. Jika memang industri tembakau akan digulung, harus dipikirkan industri turunan atau alternatif tembakau agar masyarakat buruh tetap memiliki harapan. Juga memikirkan tanaman alternatif pengganti tembakau untuk daerah-daerah potensial tembakau agar masyarakat petani tetap bisa melangsungkan kehidupannya.

Mestinya kebijakan pemerintah juga memberikan proteksi kepada perusahaan rokok dalam negeri jika memang industri tembakau masih diharapkan kontribusi ekonomisnya. Karena belakangan ini Indonesia telah “diserang” oleh rokok putih (mild) dari luar negeri. Kemunculan wacana rokok dengan low tar and necotine (tar dan ni kotin rendah) bisa jadi memiliki agenda khusus untuk menyingkirkan rokok kretek yang notebene produk dalam negeri. (Musyafak Timur Banua)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

1 comment:

  1. karena rokok, ada playgrup dirumahku....hahhaa

    ReplyDelete