(Radar Surabaya 14 Agustus 2011)
Judul : Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2011
Tebal : xxvii + 667 hlm
ISBN : 978-979-22-6947-5
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2011
Tebal : xxvii + 667 hlm
ISBN : 978-979-22-6947-5
Indonesia kini dalam keadaan darurat dan bahaya. Cita-cita berbangsa kabur di tengah perayaan ideologi dan politik yang mengarak kepentingan-kepentingan sempit golongan. Perlu kembali menilik Pancasila sebagai falsafah bangsa yang paripurna.
Hari itu, 30 September 1950, di sebuah sidang PBB, Soekarno tidak sekadar memperkenalkan pancasila kepada dunia, tetapi terlebih mengingatkan bangsanya sendiri. Barangkali orasinya masih bisa kita ingat, bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika konsepsi dan cita-cita itu kabur dan usang, maka bangsa sedang dalam bahaya. Soekarno mengimani Pancasila sebagai weltanschauung atau dasar falsafah, konsepsi sekaligus cita-cita kebangsaan. Hanya di atas dasar Pancasila, manusia dari Sabang sampai Merauke bisa bersatupadu.
Buku setebal 700 halaman ini merupakan ikhtiar Yudi Latif untuk membumikan kembali Pancasila. Menguak sejarah Pancasila demi merumuskan Masa Depan Indonesia. Mengingatkan kembali genius-genius nusantara yang menjadi dasar identitas kebangsaan Indonesia. Buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila ini dimulai dengan refleksi tentang watak dasar nusantara sebagai bangsa maritim dan agraris. Indonesia tergolong archipelago atau negara kepulauan, yakni negara lautan yang ditaburi pulau-pulau”. Laut memberikan deskripsi yang cukup luas bagaimana jati diri masyarakat nusantara terbentuk. Watak lautan adalah keluasan yang digenapi kemampuan untuk menampung segala keragaman isi di dalamnya. Lautan punya daya menyerap tanpa musti mengotori. Kepulauan Indonesia terletak di tengah persilangan antarsamudera dan antarbenua sehingga masyarakat dan penguasa di nusantara terbiasa menyerap unsur-unsur baru untuk disenyawakan dengan unsur-unsur lama. Jadilah nusantara sebagai kuali pengolahan budaya.
Tak pelak Denys Lombard memukadimahi bukunya Nusa Jawa Silang Budaya (I, 1996: 1) bahwa nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar di dunia, kecuali nusantara. Nusantara, khususnya Jawa, adalah prototipe masyarakat yang berhasil mengolah diri di dalam perangkap “nebula sosial-budaya” yang secara kuat memengaruhinya, di antaranya indianisasi, jaringan Islam-Cina, serta arus pembaratan. Tetapi semua unsur itu mampu hidup berdampingan, bahkan melebur menjadi satu.
Kultur agraris juga mencerminkan genius nusantara. Tanahnya yang subur memudahkan segala sesuatu untuk ditanam. Identik dengan watak nusantara yang sanggup menerima dan menumbuhkan segala sesuatu (hlm 5). Kerja pertanian telah mengolah watak masyarakat Indonesia menjadi etos hidup yang religius, gotong-royong, kekeluargaan dan sensitivitas.
Genius nusantara itu penting dijadikan refleksi multikulturalisme di Indonesia. Musti diinsyafi, cetakan dasar nusantara sebagai dasar penyerbukan silang budaya adalah persamaan dalam perbedaan (hlm 264). Begitulah prinsip kemajemukan seperti diajarkan Mpu Tantular dalam Kitab Sotasoma, “Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa”: berlainan tetapi tunggal-menyatu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Genius nusantara itu penting dijadikan refleksi multikulturalisme di Indonesia. Musti diinsyafi, cetakan dasar nusantara sebagai dasar penyerbukan silang budaya adalah persamaan dalam perbedaan (hlm 264). Begitulah prinsip kemajemukan seperti diajarkan Mpu Tantular dalam Kitab Sotasoma, “Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa”: berlainan tetapi tunggal-menyatu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Historiografi Pancasila didedah Yudi Latif mulai proses perumusannya pada 1 Juni 1945. Agenda itu menemukan kesatuan pandang tentang philosophische grondslag (landasan filosofis) atau weltanschauung yang menurut ikhtisar Soekarno meliputi lima prinsip dasar kebangsaan. Yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima asa itulah yang kemudian dirumuskan menjadi Pancasila yang disahkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam diskursus kebangsaan, Pancasila baik sebagai filsafat dasar maupun cita-cita bangsa merupakan konsepsi final. Berbagai fase konseptualisasi Pancasila, mulai pembuahan, perumusan dan pengesahan, melibatkan partisipasi berbagai unsur golongan. Sehingga Pancasila adalah sebuah kreasi bersama dan milik bangsa bersama-sama. Karya bersama ini menjadi dasar statis pemersatu bangsa Indonesia, sekaligus mengatasi kepentingan kelompok-kelompok yang ada. Pancasila, seperti dikatakan Soekarno adalah leistar atau bintang penuntun yang dinamis dan benderang untuk mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Pancasila adalah sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan jalan keselamatan bangsa.
Pancasila lahir dalam situasi kulminasi kolonialisme-imperialisme. Sebagai limpahan cita-cita kedaulatan rakyat, Pancasila memiliki jangkar kuat dalam sejarah politik Indonesia. Bersumber dari tradisi musyawarah masyarakat desa, semangat kesedarajatan, persaudaraan dan permusyawaratan Islam, serta gagasan emansipasi-demokrasi Barat, Pancasila adalah wujud penyatuan kehendak untuk membebaskan bangsa dari represi politik dan ekonomi kolonialisme-kapitalisme (hlm 468). Prinsip keadilan di dalam Pancasila merupakan nukleus moral dari ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, dan kedaulatan rakyat. Keadilan mencakup imperasi terhadap prinsip-prinsip tersebut, sekaligus penegas orientasi dan visi paripurna NKRI. Kemartabatan bangsa terletak pada kemampuannya untuk mendistribusikan keadilan bagi seluruh warga negaranya.
Pesimisme berbangsa perlu dilawan dengan penghayatan menyeluruh atas nilai-nilai Pancasila. Pancasila musti bergerak dari idealitas ke realitas. Semangat membumikan Pancasila harus melalui teladan dari penyelenggara Negara. Nilai-nilai Pancasila harus diaktualisasikan dalam laku adil sejak dalam merumuskan kebijakan, menjunjung tinggi hukum, solidaritas politik nirkorupsi, serta obsesi keadilan dan kesejahteraan bersama.
Muysafak, pegiat di Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang

Thanks ya sob udah share , blog ini sangat bermanfaat sekali .............
ReplyDeletebisnistiket.co.id
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSaya tertarik dengan tulisan anda mengenai sejarah pancasila Indonesia.Benar benar sangat bermamfaat dalam menambah wawasan kita dalam pengetahuan indonesia.Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai Indonesia yang bisa anda kunjungi di sini
ReplyDelete