Perayaan Imlek di Indonesia yang terbuka dan semarak satu dekade belakangan memiliki makna penting bagi kehidupan berbangsa. Satu babak politik yang mengisbatkan rekonsiliasi dan kesetaraan warga negara. Selain penanda kemajuan praktik keberagaman dan toleransi, imlek merupakan fragmen perumusan identitas bangsa.
Imlek sepantasnya menjadi momentum untuk merayakan refleksi ke-Indonesiaan: pembacaan ulang (relecture) sekaligus pembongkaran (deconstruction) pelbagai narasi sejarah etnis Tionghoa di Indonesia demi membangun makna baru (sejarah) kebangsaan hari ini. Riwayat peminggiran politik maupun kultural yang ditimpakan kepada warga Tionghoa sepatutnya menjadi “monumen ingatan" yang senantiasa menggugah keawasan dan kemawasan agar praktik-praktik diskriminasi etnik tak terulang.
Pecah-Belah Kolonial
Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia adalah riwayat peminggiran dan kekerasan. Sejak zaman kolonial Belanda, etnis Tionghoa mengalami represi politik yang tak kepalang tanggung. HM Hembing Wijayakusuma menarasikan fakta tragis sejarah yang menimpa etnis Tionghoa dalam bukunya Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (2005). Migrasi warga Tionghoa ke Batavia sangat deras pada abad ke-17. Keberhasilannya mencapai kemajuan perdagangan-ekonomi membuahkan kecemasan di tubuh VOC, kongsi dagang Hindia Timur yang berambisi memonopoli perdagangan di Asia.
Pembauran pendatang Tionghoa dengan penduduk pribumi yang dilandasi keramahan dan keakraban juga dianggap menghadang obsesi imperialisme VOC. Peristiwa tragis lantas meletus pada peristiwa chinezemoord tahun 1740. Belanda menangkap dan membantai warga Tionghoa secara masif. Korban lebih dari 10.000 nyawa.
Proyek politik VOC selanjutnya adalah meretakkan harmoni hubungan Tionghoa-pribumi dengan taktik devide et impera yang memanfaatkan fakta rasial sebagai pemicu ketegangan. Peranakan Tionghoa diisolasi dengan merumahkan mereka di permukiman khusus (pecinan) di kota-kota besar. Politik pecah-belah ditegaskan dengan mengukuhkan etnis Tionghoa sebagai warga Timur Asing (vreemde-osterlingen) yang secara status lebih bermartabat ketimbang warga pribumi (inlander). Sejak itu pribumi dibayangi kecurigaan terhadap Tionghoa.
Episode politik pecah-belah berlanjut ketika pemerintah kolonial Belanda memperalat warga Tionghoa menjadi bandar-bandar pemungut pajak. Kerja pemungutan pajak yang selalu berurusan dengan tagihan dan uang mengakibatkan warga Tionghoa semakin dikecam dan dibenci, serta dianggap sebagai pemeras oleh warga pribumi. Tak pelak, Perang Jawa (1825-1830) mencatatkan tragedi kelam: kemarahan warga pribumi berbuntut penjarahan dan pembantaian etnis Tionghoa (Benny G Setiono, 2008).
Kemerdekaan Indonesia dari jeratan pemerintah kolonial Belanda tidak lantas mengubah nasib etnis Tionghoa membaik. Nyatanya, peristiwa G30S 1965 membuahkan tuduhan warga Tionghoa bekerja sama dengan komunis. Orang-orang Tionghoa diburu sehingga menyingkir ke daerah-daerah pinggiran. Peristiwa Mei Kelabu 1998 pun menjejakkan riwayat kelam warga Tionghoa yang menjadi sasaran amuk massa, penjarahan, dan kekerasan seksual.
Sejarah kelam tak mesti menjelma cermin buram. Setiap rupa sejarah meniscayakan bangsa Indonesia berkaca. Menguak yang samar, lantas membenahi diri dengan landasan-landasan kebenaran dan keadilan. Nurani kebangsaan hari ini masih terketuk untuk secara rendah hati mengakui adanya pihak-pihak bersalah atas penistaan terhadap etnis Tionghoa. Politik kesetaraan harus berlanjut dalam agenda pemutihan warga Tionghoa, seiring gerak hukum mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM sampai tuntas.
Stigma Kultural
Ranah kultural yang sangat mendesak dirombak adalah pandangan warga pribumi terhadap peranakan Tionghoa yang sarat stereotip. Stereotifikasi stigmatif merupakan arena kekerasan simbolis yang bekerja secara halus sehingga menyamarkan kesadaran kolektif, seolah tak terlihat atau terasakan oleh penanggung atau korbannya. Stigma, pencirian atau pengkhususan menjadi salah satu prinsip kekerasan simbolis, selain tubuh dan bahasa yang menjadi sasaran stereotifikasi paling mujarab.
Stigma yang diterakan terhadap warga Tionghoa adalah watak eksklusif, bahkan antisosial. Dewi Anggraeni (2010: 3) memerkarakan persepsi masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih terkurung dalam imaji-imaji negatif yang diproyeksi oleh stereotip. Di antara gambaran paling luas sekaligus awet didistribusikan dan didaur ulang ialah wacana-narasi tentang etnis Tionghoa sebagai manusia yang keranjingan mencari uang tanpa memedulikan orang lain di sekitarnya.
Prinsip dagang orang Tionghoa yang teliti dalam perhitungan barang dan harga kerap dijadikan acuan masyarakat dalam menjustifikasi watak minus itu. Sampai kini, di masyarakat masih mencuat olok-olok yang mengejek orang Tionghoa adalah “pahit" (pelit).
Penyingkapan pelbagai narasi sejarah sejatinya membetikkan kabar baik. Sejak awal kedatangannya di bumi Nusantara, warga Tionghoa membawa misi ekonomi yang dialasi rasa persahabatan-persaudaraan.
Soemanto Al-Qurtubi (Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah, 2003) mengajukan tesis “Mazhab Tiongkok" sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Senada dengan narasi beberapa buku sejarah belakangan ini yang mengatakan ekspedisi Laksamana Cheng Ho, utusan Dinasti Ming dari Tiongkok, di Jawa pada abad ke-15 telah menciptakan komunitas-komunitas muslim China dan Arab di pelbagai kota pantura, misal: Demak, Semarang, dan Tuban.
Kisah Raden Prabangkara, putra Brawijaya V yang lihai melukis, yang diasingkan dan mendarat di dusun Yut-wa-hi, China. Menjadi anak angkat seorang janda, Prabangkara berhasil menjadi perupa yang terkenal, sehingga diterima di Istana Kaisar dan dikawinkan dengan putri mahkota. Kisah ini, terlepas dari debatan antara fakta/fiksi, menggambarkan relasi kultural yang dekat antara Tionghoa dengan Nusantara, khususnya Jawa.
Percaan-percaan tersebut menuntut bangsa Indonesia berlaku arif dan adil. Etnis Tionghoa adalah saudara yang telah menggenapi kebersamaan masyarakat Nusantara sejak berabad-abad silam. Kini, mestinya bukan sekadar warga Tionghoa yang tengah merayakan Imlek, sementara masyarakat Indonesia hanya menikmati hari libur, semburat kembang api, pertunjukan barongsai, dan diskon belanja di mal. Imlek menjadi momentum perayaan pluralitas dan toleransi yang nilainya tak terpermanai bagi keadaban bangsa. Gong xi fa cai!
--Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas), Semarang
(Jurnal Nasional, 21 Jan 2012)
Imlek sepantasnya menjadi momentum untuk merayakan refleksi ke-Indonesiaan: pembacaan ulang (relecture) sekaligus pembongkaran (deconstruction) pelbagai narasi sejarah etnis Tionghoa di Indonesia demi membangun makna baru (sejarah) kebangsaan hari ini. Riwayat peminggiran politik maupun kultural yang ditimpakan kepada warga Tionghoa sepatutnya menjadi “monumen ingatan" yang senantiasa menggugah keawasan dan kemawasan agar praktik-praktik diskriminasi etnik tak terulang.
Pecah-Belah Kolonial
Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia adalah riwayat peminggiran dan kekerasan. Sejak zaman kolonial Belanda, etnis Tionghoa mengalami represi politik yang tak kepalang tanggung. HM Hembing Wijayakusuma menarasikan fakta tragis sejarah yang menimpa etnis Tionghoa dalam bukunya Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (2005). Migrasi warga Tionghoa ke Batavia sangat deras pada abad ke-17. Keberhasilannya mencapai kemajuan perdagangan-ekonomi membuahkan kecemasan di tubuh VOC, kongsi dagang Hindia Timur yang berambisi memonopoli perdagangan di Asia.
Pembauran pendatang Tionghoa dengan penduduk pribumi yang dilandasi keramahan dan keakraban juga dianggap menghadang obsesi imperialisme VOC. Peristiwa tragis lantas meletus pada peristiwa chinezemoord tahun 1740. Belanda menangkap dan membantai warga Tionghoa secara masif. Korban lebih dari 10.000 nyawa.
Proyek politik VOC selanjutnya adalah meretakkan harmoni hubungan Tionghoa-pribumi dengan taktik devide et impera yang memanfaatkan fakta rasial sebagai pemicu ketegangan. Peranakan Tionghoa diisolasi dengan merumahkan mereka di permukiman khusus (pecinan) di kota-kota besar. Politik pecah-belah ditegaskan dengan mengukuhkan etnis Tionghoa sebagai warga Timur Asing (vreemde-osterlingen) yang secara status lebih bermartabat ketimbang warga pribumi (inlander). Sejak itu pribumi dibayangi kecurigaan terhadap Tionghoa.
Episode politik pecah-belah berlanjut ketika pemerintah kolonial Belanda memperalat warga Tionghoa menjadi bandar-bandar pemungut pajak. Kerja pemungutan pajak yang selalu berurusan dengan tagihan dan uang mengakibatkan warga Tionghoa semakin dikecam dan dibenci, serta dianggap sebagai pemeras oleh warga pribumi. Tak pelak, Perang Jawa (1825-1830) mencatatkan tragedi kelam: kemarahan warga pribumi berbuntut penjarahan dan pembantaian etnis Tionghoa (Benny G Setiono, 2008).
Kemerdekaan Indonesia dari jeratan pemerintah kolonial Belanda tidak lantas mengubah nasib etnis Tionghoa membaik. Nyatanya, peristiwa G30S 1965 membuahkan tuduhan warga Tionghoa bekerja sama dengan komunis. Orang-orang Tionghoa diburu sehingga menyingkir ke daerah-daerah pinggiran. Peristiwa Mei Kelabu 1998 pun menjejakkan riwayat kelam warga Tionghoa yang menjadi sasaran amuk massa, penjarahan, dan kekerasan seksual.
Sejarah kelam tak mesti menjelma cermin buram. Setiap rupa sejarah meniscayakan bangsa Indonesia berkaca. Menguak yang samar, lantas membenahi diri dengan landasan-landasan kebenaran dan keadilan. Nurani kebangsaan hari ini masih terketuk untuk secara rendah hati mengakui adanya pihak-pihak bersalah atas penistaan terhadap etnis Tionghoa. Politik kesetaraan harus berlanjut dalam agenda pemutihan warga Tionghoa, seiring gerak hukum mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM sampai tuntas.
Stigma Kultural
Ranah kultural yang sangat mendesak dirombak adalah pandangan warga pribumi terhadap peranakan Tionghoa yang sarat stereotip. Stereotifikasi stigmatif merupakan arena kekerasan simbolis yang bekerja secara halus sehingga menyamarkan kesadaran kolektif, seolah tak terlihat atau terasakan oleh penanggung atau korbannya. Stigma, pencirian atau pengkhususan menjadi salah satu prinsip kekerasan simbolis, selain tubuh dan bahasa yang menjadi sasaran stereotifikasi paling mujarab.
Stigma yang diterakan terhadap warga Tionghoa adalah watak eksklusif, bahkan antisosial. Dewi Anggraeni (2010: 3) memerkarakan persepsi masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih terkurung dalam imaji-imaji negatif yang diproyeksi oleh stereotip. Di antara gambaran paling luas sekaligus awet didistribusikan dan didaur ulang ialah wacana-narasi tentang etnis Tionghoa sebagai manusia yang keranjingan mencari uang tanpa memedulikan orang lain di sekitarnya.
Prinsip dagang orang Tionghoa yang teliti dalam perhitungan barang dan harga kerap dijadikan acuan masyarakat dalam menjustifikasi watak minus itu. Sampai kini, di masyarakat masih mencuat olok-olok yang mengejek orang Tionghoa adalah “pahit" (pelit).
Penyingkapan pelbagai narasi sejarah sejatinya membetikkan kabar baik. Sejak awal kedatangannya di bumi Nusantara, warga Tionghoa membawa misi ekonomi yang dialasi rasa persahabatan-persaudaraan.
Soemanto Al-Qurtubi (Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah, 2003) mengajukan tesis “Mazhab Tiongkok" sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Senada dengan narasi beberapa buku sejarah belakangan ini yang mengatakan ekspedisi Laksamana Cheng Ho, utusan Dinasti Ming dari Tiongkok, di Jawa pada abad ke-15 telah menciptakan komunitas-komunitas muslim China dan Arab di pelbagai kota pantura, misal: Demak, Semarang, dan Tuban.
Kisah Raden Prabangkara, putra Brawijaya V yang lihai melukis, yang diasingkan dan mendarat di dusun Yut-wa-hi, China. Menjadi anak angkat seorang janda, Prabangkara berhasil menjadi perupa yang terkenal, sehingga diterima di Istana Kaisar dan dikawinkan dengan putri mahkota. Kisah ini, terlepas dari debatan antara fakta/fiksi, menggambarkan relasi kultural yang dekat antara Tionghoa dengan Nusantara, khususnya Jawa.
Percaan-percaan tersebut menuntut bangsa Indonesia berlaku arif dan adil. Etnis Tionghoa adalah saudara yang telah menggenapi kebersamaan masyarakat Nusantara sejak berabad-abad silam. Kini, mestinya bukan sekadar warga Tionghoa yang tengah merayakan Imlek, sementara masyarakat Indonesia hanya menikmati hari libur, semburat kembang api, pertunjukan barongsai, dan diskon belanja di mal. Imlek menjadi momentum perayaan pluralitas dan toleransi yang nilainya tak terpermanai bagi keadaban bangsa. Gong xi fa cai!
--Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas), Semarang
(Jurnal Nasional, 21 Jan 2012)