Saturday, April 14, 2012

Pendidikan Karakter lewat Sastra

0
Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.

-- Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia


SECARA simbolis pernyataan itu mengacungkan tanda seru tentang pentingnya sastra bagi peradaban umat manusia. Menyiratkan bahwa seseorang tidak cukup hidup hanya dengan pikiran, tetapi juga ada imbangan budi pekerti. Sastra diangankan membentuk manusia yang berkesadaran utuh, berjati diri dan berkeutamaan. Pernyataan itu sekaligus memesankan pentingnya pengajaran sastra di sekolah. Sementara kini pola pikir positif manusia modern cenderung menyasarkan pembelajaran pada ilmu-ilmu eksak atau sains.

Ini mengingatkan pada kegelisahan Ki Mangoensarkoro (1904-1957), budayawan dan tokoh nasional, pada Kongres Kebudayaan III di Solo tahun 1954, sebagaimana dinukil Sapardi Djoko Damono dalam esainya Sastra di Sekolah. Ki Mangoensarkoro mencemaskan, babakan kesenian terdesak hilang dari daftar pengajaran karena sekolah terobsesi mengajarkan bab-bab untuk ujian, kepala siswa sesak oleh beban pengetahuan, tetapi ketajaman pikirannya tidak terlatih dan kosong hatinya (Susastra Vol 3 No 5, 2007: 2).

Kesenian, termasuk sastra, diandaikan sebagai entitas yang mampu mengolah watak pelajar, meliputi pandangan hidup atau pola pikir yang mendorong ketegasan sikap dan perilaku. Kini, ketika persoalan karakter diangkat menjadi garapan pendidikan, sastra patut diacu sebagai media sekaligus sumber pendidikan karakter yang bercita menyelamatkan moralitas bangsa dan membentuk peradaban luhur.

Pengajaran bahasa mestinya mengondisikan siswa untuk terlibat pada domain wacana yang memungkinkan siswa merumuskan suatu pandangan dunia, sekaligus pandangan diri. Fuad Hasan (Riris K Toha Sarumpaet, 2002: 7-8) mengatakan, bahasa adalah manifestasi manusiawi. Kesanggupan berbahasa menyokong manusia dalam upaya pengayaan dan pencanggihan (enrichment and sophistication) eksistensi diri di dalam dunianya.

Kesanggupan berbahasa meniscayakan manusia untuk mengartikulasikan pikiran dan pendapat (logos), gairah dan perasaan (phatos) serta adab dan susila (ethos). Tumbuh kembangnya bahasa, termasuk fungsinya sebagai medium ujaran dan manifestasi kesusastraan, turut menentukan sifat dan tingkat peradaban suatu masyarakat.

Sementara, sejak awal pengajaran sastra terintegrasi dalam kurikulum Bahasa Indonesia. Paket ini secara tidak langsung mengesampingkan sastra, sedangkan kurikulum bahasa tampak terperangkap sekadar memerkarakan tata bahasa “yang baik dan benar" dalam acuan komunikasi fungsional. Pengetahuan sastra di kelas-kelas kurang mendapat saluran karena keterbatasan alokasi waktu, sehingga jamak siswa sekadar hafal sejumlah nama sastrawan dan judul bukunya. Kecuali itu, siswa tidak diarahkan membaca karya-karya sastra itu sendiri secara riil, tidak dikondisikan untuk mencerap dan menghayati nilai-nilai karya sastra yang ada.

Doni Koesoema A (2007: 4) mengartikan pendidikan karakter sebagai bantuan sosial bagi individu untuk bertumbuh menghayati kebebasannya dalam menjalani kehidupan bersama dengan orang lain. Pendidikan karakter berpamrih membentuk setiap pribadi menjadi insan berkeutamaan, dan keutamaan adalah segala tindakan dan pilihan sikap yang mengacu pada tujuan “yang baik".

Pelajar yang dicitakan menjadi insan berkeutamaan sangat mungkin ditempa melalui sastra. Pertama, sastra menawarkan alternatif moral agar seseorang mencapai keteguhan sikap, berpikir dewasa dan sadar akan multikulturalitas. Pergulatan dengan sastra memungkinkan siswa memasuki ragam situasi imajinatif yang sekaligus menuntut pembayangan dan penempatan sikap dalam situasi yang dibangun di dalam karya sastra. Novel seperti Harimau! Harimau (Mochtar Lubis), Salah Asuhan (Abdoel Moeis) atau Para Priyayi (Umar Kayam) adalah karya yang mewartakan nilai-nilai humanitas.

Kedua, sastra mengajak menyelami fakta-fakta sosial secara lebih mendalam. Sastra menghimpun suatu pengetahuan tentang masyarakat dan memiliki relevansi dengan kehidupan yang bisa diserap menjadi pengalaman sosial bagi pembacanya sehingga menumbuhkan kepekaan sosial dan sikap kritis. Bisa dibaca, misalnya, dalam novel tetralogi Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) dan Saman (Ayu Utami). Juga puisi-puisi WS Rendra seperti Ballada Orang-Orang Tercinta, Blues untuk Bonnie dan Sajak-sajak Sepatu Tua.

Ketiga, sastra menawarkan nilai-nilai religi yang menyampaikan misi profetik. Tampak pada karya-karya Danarto, taruhlah kumpulan cerpen Godlob, Adam Ma‘rifat dan Berhala. Atau novel Di Bawah Lindungan Ka‘bah (Buya Hamka) dan Khotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo).

Indonesia juga kaya dengan puisi-puisi religius dan sufistik, seperti Malu Aku Jadi (Orang) Indonesia (Taufik Ismail), Anak Laut Anak Angin (Abdul Hadi WM) atau Amuk (Sutardji Calzoum Bachri). Karya-karya semacam itu niscaya membentuk siswa menjadi insan berkeutamaan karena penalaran, penghayatan, serta pengamalan spiritual yang utuh.

Tak kalah penting, kekuatan sastra mampu memacu gairah kreativitas, merayakan imajinasi dan membebaskan diri. Di samping membaca, menulis karya sastra, secara langsung mendorong siswa memahami suatu realitas yang dihadapi dan menyadari pandangan dirinya, sekaligus berkompromi dengan pelbagai kepentingan di luar dirinya.

Agenda pendidikan karakter tampaknya harus memperbarui cara pandang pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Tidak lagi menempatkan bahasa sekadar perangkat komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi simbolik yang sarat makna seperti terkandung di dalam ujaran sastra. Pengajaran bahasa dan sastra mesti diproyeksikan untuk membangun budaya literasi serta membentuk pelajar kreatif dan produktif. Begitulah. Saatnya para guru bahasa membuka mata.

--Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas), Semarang
(Jurnal Nasional, 12 Desember 2011)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment