Thursday, January 21, 2016

Agama dan Pelayanan Publik

0













Oleh Musyafak 

Perdebatan soal perlu atau mubazirnya kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) terus berlanjut. Menjelang pemilihan presiden 2014 kemarin isu penghapusan kolom agama pada KTP sempat kembali mencuat. Jokowi-JK dikabarkan bakal menghapusnya. Meski kebenaran kabar itu belum benderang, rasanya pemerintah baru nanti tidak boleh gegabah menyikapi perkara sensitif ini.

Isu penghapusan kolom agama pada KTP memang terus berembus bersamaan momentum politik, atau ketika terjadi konflik sosial dan diskriminasi beraroma SARA. Tak sedikit pemikir liberalis, seperti Siti Musdah Mulia, menyatakan kolom agama pada KTP kerap dipolitisasi. Cantuman agama bisa menyebabkan seseorang terkena tindak diskriminatif oleh aparatur pemerintah ketika mengurus hak-hak sipilnya. Ketika terjadi konflik bernuansa agama, aksi kekerasan juga bisa dialamatkan kepada kelompok-kelompok agama tertentu yang diidentifikasi melalui kartu identitasnya.

Sekilas, argumentasi penghilangan kolom agama tersebut relevan. Namun, benarkah seseorang berlaku diskriminatif terhadap orang lain karena agamanya diketahui lewat KTP?

Diskriminasi agama bisa bermuasal dari banyak sebab. Bisa dikatakan, sumber utamanya adalah pemikiran keagamaan eksklusif yang membuahkan sikap atau laku diskriminatif, intoleran, dan tidak adil.

Penetapan Presiden (PNPS) No 1  Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama menyebut enam agama yang umumnya dipeluk masyarakat Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tidak berarti agama-agama lokal yang ada seperti Sunda Wiwitan, Samin, Kaharingan, Wetu Telu, Parmalim, atau Baha’i dilarang. Penjelasan PNPS No 1 Tahun 1965 menyatakan semua agama atau kepercayaan mendapat perlindungan konstitusi untuk hidup dan berkembang sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan.

Penyebutan enam agama yang umumnya dipeluk masyarakat Indonesia adalah siasat pemerintah untuk membatasi pelayanan publiknya. Sampai kini negara mengakui keberadaan agama lokal, tetapi belum mampu memberikan pelayanan, penyuluhan dan pembinaan keagamaan kepada penghayatnya. Dalam konteks pendidikan pemerintah juga hanya memberikan pendidikan agama kepada pelajar yang memeluk enam agama besar.

Tidak adanya perintah undang-undang menjadi dalih pemerintah untuk “lepas tangan” terhadap pelayanan hak-hak para pemeluk agama lokal. Padahal jika menggunakan logika terbalik, yakni sejauh tidak ada larangan undang-undang maka pelayanan keagamaan dan pendidikan kepada pemeluk agama apapun adalah sah.

Nuansa politik pencetusan PNPS No 1 Tahun 1965 seolah-olah mengabsahkan pemerintah berlaku diskriminatif dalam melayani kepentingan publik. Abdillah Halim (2010) menengarai peraturan yang lahir dari rahim rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno itu bersifat sentralistik. PNPS tersebut tidak diniatkan secara sungguh-sungguh untuk mengondisikan kerukunan dan ketentraman umat beragama, melainkan mewakili kepentingan rezim untuk menjamin kelangsungan kekuasaan. Kesilapan terhadap peraturan itu berlanjut hingga Orde Baru yang berlaku lebih represif dan diskriminatif terhadap selain keenam “agama yang dianggap resmi”.

Karena itu masalah dan represi yang dialami pemeluk agama minoritas cukup rumit ketika mengurus administrasi kependudukan. Di antara mereka kebingungan memilih agama apa untuk dicantumkan pada KTP. Sebagiannya merasa dipaksa memilih agama lain karena nama agamanya tidak bisa dicantumkan, dan sebagiannya mengosongkan.

Sementara kalangan yang leluasa mencantumkan agamanya pada KTP terbentur persoalan sentimen. Di antara mereka ada yang merasa haknya dipersulit oleh aparatur pemerintah karena faktor agama. Ada yang ditampik kerja atau sulit naik pangkat karena persoalan beda agama.

Sentimen negatif keagamaan macam itu tentu saja tidak berasal dari kolom agama pada KTP, sebab identitas keagamaan seseorang juga dilihat dalam simbol-simbol yang dipakai seperti pakaian atau bahasa. Sentimen negatif keagamaan lebih banyak bersumber dari nalar keagamaan eksklusif yang tidak rela “membiarkan” orang lain bahagia dengan agamanya. Walhasil, Penghapusan kolom KTP tidak serta merta menghapus diskiminasi bernuansa agama apabila eksklusifisme masih bersemayam di dalam pikiran dan benak umat beragama.

Sebagai penegas identitas, cantuman agama pada KTP sebenarnya juga punya makna positif. Dengan mengetahui agama seseorang, aparatur pemerintah bisa memberikan pelayanan sesuai dengan agamanya. Seorang dokter, misalnya, bisa memberikan anjuran atau tindakan medis yang selaras dengan ajaran agama pasien. Seorang bidan yang menangani kelahiran keluarga muslim akan memberikan waktu bagi sang ayah melantunkan azan segera setelah si bayi lahir.

Pengetahuan tentang agama seseorang juga diperlukan oleh kalangan swasta. Kalangan penjual jasa sekarang sangat mengutamakan kepuasan, salah satunya memberikan pelayanan yang nyaman sesuai dengan agama pelanggan. Restoran berkelas akan memberitahu pelanggan muslim bahwa masakan-masakan tertentu mengandung minyak babi, atau minuman-minuman tertentu mengandung alkohol kadar tinggi. Ini adalah bentuk keadilan dalam pelayanan. Semua orang tidak diperlakukan sama, tetapi memperhitungkan agamanya.

Undang-undang perlu direvisi dengan semangat kesetaraan dan nondiskriminasi. Percuma merombak format KTP jika banyak peraturan yang ada masih “meminggirkan” kelompok-kelompok agama tertentu. Diskriminasi memang harus dihapuskan, tetapi harus dari akarnya. Nalar keagamaan masyarakat Indonesia harus diolah menjadi inklusif dan toleran. Nalar dan mentalitas aparatur pemerintah harus ditatar secara berkelanjutan supaya mampu melayani publik secara profesional dan inklusif tanpa membedakan agama. Pelayanan publik yang inklusif adalah modal awal untuk mewujudkan pelayanan yang berkeadilan!


*) Penulis adalah pengelola www.readingislam.net
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment