Thursday, February 18, 2016

Api Al-Quran dan Spirit Keindonesiaan

0

Oleh Musyafak

Saya insyaf bahwa satu-satunya suara kemanusiaan adalah Kata dari Tuhan. Mulai dari hari ini dan seterusnya saya telah bersiap memikul tanggung jawab dari segala apa yang saya kerjakan, tidak saja terhadap bangsa Indonesia, tapi sekarang juga terhadap-Mu.

--Bung Karno, dalam Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia

Al-Qur’an dan Indonesia punya jalinan intim semasa perjalanan awal bangsa. Peringatan turunnya kitab suci yang akrab disebut Nuzulul Qur’an telah ditradisikan secara resmi sejak kepemimpinan Bung Karno. Pidato-pidato sang proklamator pada momentum peringatan Nuzulul Qur’an bukan hanya jabaran makna pentingnya Al-Qur’an sebagai panduan hidup umat muslim. Lebih dari itu Al-Qur’an adalah landasan yang mengorientasikan arah pembangunan bangsa.

Peringatan nuzulul qur’an yang ditetapkan pada tanggal 17 Ramadan pun menjadi penanda tentang dua momen sakral: turunnya kitab suci dan proklamasi. Karena angka 17 merupakan simbol keramat bagi bangsa ini, yang menyangkut peristiwa sekaligus cita-cita. Tak lain adalah deklarasi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Penentuan 17 Ramadan sebagai waktu turunnya al-qur’an adalah susulan dari Haji Agus Salim yang disepakati Bung Karno, yang kemudian diperingati secara rutin di Istana Negara dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia. Pilihan 17 Ramadan bukan sekadar mengepas-ngepaskan, tetapi berdasar dari dalil al-Qur’an sendiri. Sebagaiaman dinyatakan dalam QS Al-Anfal (41), al-Qur’an diturunkan bertepatan dengan peristiwa bertemunya dua pasukan (yawm al-taq al-jam’an). Secara historis, hari tersebut merujuk pada peristiwa perang badar yang pecah pada 17 Ramadan. Di sisi lain, tak sedikit pula kalangan ulama yang berpendapat bahwa al-qur’an turun di 10 malam terakhir bulan Ramadan bertepatan dengan lailatul qadar.

Cendekiawan muslim Nurcholid Madjid menilai penetapan peringatan nuzulul qur’an setiap 17 Ramadan —yang punya sangkutan dengan 17 Agustus— merupakan ijtihad positif. Karena hal itu bisa mengingatkan masyarakat pada nilai-nilai spiritual, di mana Tuhan seolah-olah ikut ambil bagian atau melakukan intervensi terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia (Madjid, 2000: 47).

Isyarat hubungan keintiman antara Indonesia dengan al-Qur’an juga bisa ditilik dari penulisan “Al-Qur’an Pusaka” pada tahun 1948 yang diinisiasi oleh Abu Bakar Atjeh dan KH Musykur yang saat itu menjabat Menteri Agama. Kitab suci pusaka berukuran 65x125 cm itu selesai dikerjakan dan diserahkan kepada Presiden RI Bung Karno pada 15 Maret 1960, bertepatan dengan peringatan Nuzulul Qur’an. Pusaka itu sampai kini berada di Masjid Baitur Rahim, Istana Negara.

Suatu pusaka tentunya memuat unsur kekudusan dan kekeramatan, sekaligus memiliki daya. Tetapi pemusakaan kitab suci semacam itu tampaknya hanya merupakan ikhtiar simbolik bahwa negara Indonesia menaruh tinggi al-Qur’an. Pusaka itulah yang diangankan sebagai kekuatan sebagai pemberi petunjuk dan penguat hari nurani dalam proses pembangunan bangsa.

Bung Karno, ketika menerima “Al-Qur’an Pusaka” berwasiat, sebagai termaktub dalam buku Bung Karno dan Islam (1990), bahwa pusaka itu sebenarnya bukan berarti apa-apa, kecuali makna Kata-Kata di dalamnya. Ia menyitir pernyataan Thomas Carlyle, rangkaian Kata di dalam Al-Qur’an mampu membuat Jazirah Arab yang semula hanya padang pasir menjadi meledak. Kata “meledak” itu ditangkap Bung Karno sebagai semangat revolusioner yang mampu menggerakkan Nabi dan masyarakat muslim dalam membangun peradabannya.

Maka semangat bergerak itulah yang dicerap Bung Karno dari Al-Qur’an. Dan bergerak itu tidak lain adalah melakukan amal (perbuatan).

--Musyafak, founder readingislam.net, pengkaji masalah sosial keagamaan.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment