Thursday, February 18, 2016

Kontestasi Agama dan Etnisitas dalam Budaya Populer Indonesia

0
Bincangan mengenai popular culture (budaya populer) di Indonesia selama ini cenderung serempak membangun gugus wacana yang memandang miring industrialisasi budaya media massa. Dalihnya, budaya populer identik dengan industri hiburan yang kurang muatan estetik maupun nilai-nilai edukatifnya. Budaya populer ditengarai sebagai proyek konglomerasi media massa yang tanpa malu-malu memburu laba dengan cara mencipta pelbagai produk budaya yang sarat ilusi dan simulasi, remeh-temeh dan murahan.

Padahal, jika ditinjau dalam konteks pergulatan identitas kebangsaan, berbiaknya budaya popular di Indonesia bukan saja memunculkan kekhawatirkan akan ambruknya sendi-sendi budaya lokal yang acap dicap “asli” dan “adilihung”. Tetapi budaya populer juga turut menyediakan ruang atau arena kultural di mana pluralitas kebudayaan dirayakan. Perkelindanan budaya populer punya jasa besar dalam pertarungan antar-indentitas untuk saling diakui. Meski arena kultural itu sarat ketegangan ideologis yang rentan menyulut konflik serta perpecahan.

Budaya populer secara tidak langsung mengabstraksikan corak ideologi politik-kekuasaan negara. Misalkan di zaman Orde baru, nyaris semua tayangan media massa disusupi narasi pembangunanisme. Kreasi musik, film atau sinetron pada masa itu tidak banyak mengamanatkan kritik terhadap pemerintahan. Sebab kritik senantiasa dipinggirkan, bahkan dinihilkan.

Ariel Heryanto menelaah perkembangan budaya populer di Indonesia secara diakronis dalam pautannya dengan situasi politik. Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998 merupakan babak awal bagi moncernya kegemerlapan budaya populer menginjak dekade pertama abad 21. Kala itu, ketika Indonesia mulai menggeliat dari keterpurukan ekonomi dan politik, tren budaya populer mengalami perkembangan yang begitu pesat dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Situasi politik yang lebih menjamin kebebasan berekspresi di Era Reformasi memicu aneka tayangan hiburan yang penuh sensasi berikut kontroversinya. Fenomena Inul Daratista, pedangdut asal Pasuruan jawa Timur yang mendadak tenar pada tahun 2003, merupakan fakta unik yang menarik dicermati. Kontroversi Inul mengisbatkan bahwa budaya populer yang bukan saja berurusan dengan moralitas dan agama, namun juga bersengkarut dengan perseteruan antarideologi yang dominan di Indonesia.

Dalam pusaran konflik “goyang ngebor Inul”, wacana erotisme dan kesusilaan tidak lebih penting ketimbang kompetisi identitas. Identitas dan ideologi dikontestasikan secara blak-blakan dengan cara “membonceng” budaya popular.

Islam sebagai ideologi modern yang paling mentereng pasca runtuhnya Orde Baru, melakukan kontestasi politik-kekuasaan di atas panggung kontroversi tentang Inul. Itu tampak dari Fatwa MUI maupun aksi-aksi laskar-laskar Islam yang “menajiskan” Inul. Sementara kalangan kiri, baik pengantu liberalisme maupun Marxisme, mengambil posisi menandingi Islam. Peseteruan ideologis itu mencapai klimaks ketika RUU Pornografi dimaklumkan oleh pemerintah, dan kontan menimbulkan kontroversi semakin pelik dan panjang.

Kontestasi identitas di dalam budaya populer juga mencakup perkara etnisitas. Film Ca-Bau-Kan (2002) dan Gie (2005) merupakan gagasan sinematik yang berikhtiar melawan representasi dominan tentang etnis Tionghoa yang sepanjang Orde Baru digambarkan secara stigmatif dan diskriminatif. Meski tidak sepenuhnya berhasil mensubversi tata politik-kultural yang telah lama mapan, sedikitnya kedua film itu telah mengambil peran di dalam proses mendekonstruksi citra minus etnis Tionghoa.

Pergulatan identitas juga tampak dalam pelbagai reality show seperti Indonesia Idol yang notabene diimpor dari Barat. Belakangan ini “identitas Barat” dalam budaya populer sedang bergelut dengan “identitas Asia Timur”. Penonton Indonesia yang semakin gandrung terhadap film, telenevola maupun musik Korea, Jepang dan Mandarin mengisyaratkan bergesernya dominasi Barat dalam percaturan industri hiburan di Indonesia. Jika dikaitkan dengan fenomena demam K-Pop (Korean Pop) saat ini, penerimaan masyarakat atas budaya populer imporan tentunya tidak lepas dari persepsi identitas bangsa ketimuran.

Buku Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru ini membedah budaya populer dengan anasir politik dan identitas keindonesiaan kontemporer. Ditulis oleh para pakar budaya populer seperti Ariel Heryanto, Marshall Clark, David Hannan, Penelope Coutas dan Vissia Ita Yulianto, buku ini menginsyafkan bahwa perkembangan budaya populer dewasa ini merupakan fenomena kompleks yang tidak bisa disepelekan dalam hubungannya dengan percaturan kebudayaan sebuah bangsa. (readingislam.net/ Musyafak)

Data Buku
BUDAYA POPULER DI INDONESIA: MENCAIRNYA IDENTITAS PASCA-ORDE BARU | Ariel Heryanto (Penyunting) | Penerbit Jalasutra, Yogyakarta | Cetakan I, Agustus 2012 | ISBN 978-602-8252-81-2 | vii + 320 halaman
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment