Thursday, February 11, 2016

Hijab Halal Zoya dan Muslim Kelas Menengah

0
Tiap orang punya tanggapan berbeda ketika mendengar kabar hijab halal yang dipopulerkan oleh Zoya. Produsen sekaligus trendsetter baju muslim Indonesia kekinian itu, baru-baru ini mengklaim hijabnya sebagai produk pertama yang tersertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia.

Klaim halal dalam iklan Zoya itu tentu tak main-main bagi masyarakat Indonesia yang jamaknya muslim. Puluhan juta perempuan muslim Indonesia memakai hijab, atau jilbab, atau kerudung. Ribuan merek dan jenis hijab bertebaran di pasar, selama ini belum ada yang bersertifikasi halal. Maka ketika Zoya memproklamasikan produk hijabnya sebagai "yang halal", serta merta menjadi polemik.

Banyak yang mengecam Zoya soal pelabelan "halal" pada hijab yang dirasa tidak penting, bahkan menimbulkan masalah. Adanya label halal tersebut seolah menohok produk-produk hijab lain seolah-olah bukanlah barang yang halal. Sebagian orang setuju, sertifikasi hijab halal adalah upaya melindungi konsumen agar bisa memakai hijab yang sesuai dengan ketentuan agama. Sebagaimana alasan Zoya sendiri, bahwa hijab halal itu menekankan pada bahan-bahannya yang tidak menggunakan bahan-bahan najis, khususnya ketika proses pewarnaan bahan kain yang tidak menggunakan gelatin babi.

Boleh saja Zoya merilis produk-produknya dengan citarasa khas dan berbeda dari yang lain. Namun penggunaan bahasanya mestinya ramah terhadap khalayak ramai. Term hijab halal terdengar eksklusif dan tidak ramah bagi mereka yang sehari-hari mengenakan jilbab seharga 10.000 s.d. 50.000 rupiah yang sudah diterima masyarakat sebagai pakaian yang sah untuk menutup aurat bagian kepala--bagi yang mempercayainya.

Jika direnungkan, sebenarnya ada apa di balik hijab halal itu? Adanya hijab halal sebetulnya adalah hal positif bagi muslim. Namun halal sebagai "sertifikat" tentu punya dimensi yang orang-orang tak tahu ada apa di balik itu. Sudah banyak beredar kabar, untuk mendapatkan sertifikasi halal dari lembaga yang berwenang untuk produk-produk makanan harus merogoh kocek besar. Konon bisa lebih dari 100 juta rupiah. Tentu para produsen jilbab, semisal jenis paris, yang dijajakan dengan harga 10 s.d. 20 ribu tak akan pernah terpikirkan mendaftarkan sertifikasi halal.

Zoya tentu lain. Pangsa pasar Zoya adalah muslim kelas menengah. Karakteristik muslim kelas menengah ini, dengan kemapanan ekonominya, dibarengi dengan semangat keagamaan yang cukup tinggi. Beberapa riset internasional menunjukkan bahwa kelas ekonomi yang sulit diruntuhkan adalah kemapanan kelas menengah musllim. Itulah sebabnya banyak negara tetangga, sekalipun penduduk muslimnya sedikit, kini ramai-ramai mengembangkan kota halal yang diproyeksikan sebagai wisata halal. Singapura dan Jepang telah memulai itu. Indonesia yang punya warga muslim lebih dari 200 juta sama sekali terlambat mengantisipasi gaya hidup kelas menengah muslim yang hari ini gampang sekali menyerah dengan rayuan-rayuan berlabel syariah, syari, atau halal. Meski secara substansi tidak seindah label-label tersebut.

Sebagian kalangan menengarai kesalehan muslim kelas menengah tampak artifisial dan kamuflatif. Watak mereka doyan belanja di mall, karaoke, tetapi juga gemar foto selfie di pengajian atau panti asuhan. Mereka juga bisa umrah setiap tahun yang oleh-olehnya hanya status facebook dan foto di timeline media sosial.

Citra yang semacam itu tentu tidak 100 persen menggambarkan kelas menengah muslim Indonesia. Tapi di situlah Zoya bergerilya menyasar kaum yang lebih rasional, non-klenik, dan cenderung puritan. Untuk berjualan, Zoya mengkhutbahkan pakaian penutup aurat yang kaffah (sempurna). Begitulah produk-produk Zoya berkembang menjadi gamis yang longgar dan jilbab yang cukup lebar.

Rekayasa pasar seperti itu ternyata bersimbiosis dengan kelas menengah muslim yang hendak membeli citra. Angan untuk tampil sebagai muslim yang baik di hadapan publik sedikitnya ditampilkan dengan pakaian serba tertutup, pakaian yang menurut istilah kekiniannya adalah gamis syar'i atau hijab syar'i.

Kalau ada yang mengatakan bahwa Zoya gagal dengan strategi label halalnya untuk berjualan kali ini, itu adalah anggapan yang prematur. Betapapun Zoya banyak dikritik dan dicemooh dengan iklan itu, tapi para pengkritik itu datang dari muslim kelas bawah yang lebih punya sikap kritis, sekaligus punya waktu untuk berkasak-kusuk di linimaya. Dan Zoya tetaplah milik muslim kelas menengah yang wah. Hidup Zoya. Hidup muslim kelas menengah. (readingislam.net)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment